ASPEK MAKNA UJARAN
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan sistem
komunikasi yang amat penting bagi manusia. Sebagai suatu unsur yang dinamik,
bahasa senantiasa dianalisis dan dikaji dengan menggunakan berbagai pendekatan
untuk mengkajinya. Antara pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa
ialah pendekatan makna. Semantik merupakan salah satu bidang yang mempelajari
tentang makna.[1][1]
Semantik dengan
objeknya yakni makna, berada di seluruh atau semua tataran yang bangun
membangun ini : makna berada di dalam tataran fonologi, morfologi dan
sintaksis. Oleh karena itu penamaan tataran untuk semantik agak kurang tapat,
sebab semantik bukan satu tataran dalam arti unsur pembangun satuan lain yang
lebih besar melainkan merupakan unsur yang berada semua tataran itu.
Berbahasa itu adalah
proses menyaampaikan makna oleh penutur kepada pendengar melalui satu atau
serangkaian ujaran. Suatu proses berbahasa dikatakan berjalan baik apabila
makna yang dikirimkan penutur dapat diresepsi oleh pendengar persis seperti
yang dimaksudkan oleh si penutur. Sebaliknya, suatu proses berbahasa dikatakan
berjalan dengan baik apabila makna yang dikirim penutur diresepsi atau dipahami
pendengar tidak sesuai dengan yang dikehendaki penutur. Ketidaksesuaian ini
bisa disebabkan oleh faktor penutur yang kurang pandai dalam memproduksi
ujaran, bisa juga disebabkan oleh faktor pendengar yang kurang mampu meresepsi
ujaran itu, atau biasa juga akibat bisa juga akibat faktor lingkungan sewaktu
ujaran itu ditransfer dari mulut penutur ke dalam telinga pendengar.
Jadi suatu ujaran dapat
dipahami dengan baik oleh pendengar apabila penutur dapat membuat enkode
semantik, enkode gramatika, dan enkode fonologi dengan baik, dan sebaliknya
pihak pendengar dapat mendekode fonologi, mendekode gramatika, dan mendekode
semantik dari ujaran yang dikirimkan penutur itu dengan baik juga. Disamping
itu lingkungan tempat ujaran itu juga berlangsung secara kondusif.
Oleh karena itu, dalam
makalah ini penulis akan membahas tentang:
1.
Apakah hakikat dari makna itu ?
2.
Apa yang dimaksud dengan makna leksikal itu dan bagaimana makna tersebut
dalam ujaran ?
3.
Apa yang dimaksud dengan makna gramatikal itu dan bagaimana makna
tersebut dalam ujaran ?
4.
Apa yang dimaksud dengan makna kontekstual itu dan bagaimana makna tersebut
dalam ujaran ?
5.
Apa yang dimaksud dengan makna kohesi dan koherensi itu dan bagaimana
makna tersebut dalam ujaran ?
ASPEK MAKNA
UJARAN
A. Hakikat Makna Ujaran
Arti atau makna
adalah hubungan antara tanda berupa lambang bunyi-ujaran dengan hal atau yang
dimaksudkan. [2][2]
Menurut Ferdinand de
Saussure setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen yaitu
signifian “yang mengartikan” dan signifie “yang diartikan”. Jadi makna adalah
pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada tanda linguistik. Tanda
linguistik bisa berupa kata atau leksem maupun morfem. Banyak pakar juga
menyebutkan bahwa makna sebuah kata dapat ditentukan apabila kata itu sudah
berada dalam konteks kalimatnya, wacananya dan situasinya. Karena bahasa itu
bersifat arbitrer.[3][3]
Berbicara tentang
makna, pertama perlu diingat adanya dua bidang kajian tentang makna, yaitu
semantik atau semiotik. Kedua bidang kajian ini sama-sama meneliti atau
mengkaji tentang makna. Bedanya, semantik khusus mengkaji makna bahasa sebagai
alat komunikasi verbal manusia, sedangkan semiotik mengkaji semua makna yang
ada dalam kehidupan manusia, seperti makna-makna yang dikandung oleh berbagai
tanda dan lambang serta isyarat lainnya. Kemudian karena bahasa sebenarnya juga
tidak lain daripada salah satu sistem lambang, maka semantik bisa dikatakan
juga termasuk atau menjadi bagian dari kajian semiotik.
Dalam praktek berbahasa
ternyata juga makna suatu ujaran tidak bisa dipahami hanya dari kajian
semantik, tetapi juga harus dibantu oleh dan anggota tubuh serta mimik, dan
sebagainya. kajian semiotik, seperti pemahaman mengenai gerak-gerik tubuh dan
anggota tubuh serta mimik dan sebagainya.
Verhaar (1978) yang
mendasarkan teorinya pada teori signe’ linguitique dari Ferdinand
de Saussure (1916) menyatakan bahwa makna adalah gejala internal bahasa. Teori
verhaar mengenai makna yang semata-mata berdasarkan gejala internal bahasa
memang bisa di terima. Namun, makna bahasa sebagai alat komunikasi sosial
verbal banyak tergantung pada faktor-faktor lain di luar bahasa. [4][4]
Jadi, makna adalah
gejala-gejala yang tidak hanya terdapat pada internal bahasa, tetapi juga
terdapat pada eksternal bahasa.
B. Makna Leksikal
Makna leksikal adalah
makna sebenarnya makna yang sesuai dengan hasil observasi kita, makna apa
adanya atau makna yang ada dalam kamus.[5][5]
Makna leksikal, yakni
makna kata berdasarkan kamus. Makna ini terdapat pada kata-kata yang belum
mengalami proses perubahan bentuk.
Jadi, makna leksikal
ialah makna kata secara lepas, tanpa kaitan dengan kata yang lainnya dalam
sebuah struktur (frase klausa atau kalimat). Contoh: Rumah: bangunan untuk
tempat tinggal manusia. Makan: mengunyah dan menelan sesuatu. Makanan: segala
sesuatu yang boleh dimakan, dan lain-lain.
Tahap pertama untuk
bisa meresapi makna suatu ujaran adalah memahami makna leksikal setiap butir
leksikal (kata, leksem) yang digunakan dalam ujaran itu. Andaikata kita tidak
tahu makna leksikal sebuah kata yang digunakan di dalam suatu ujaran kita bisa
melihatnya di dalam kamus atau bertanya kepada orang lain yang tahu. Namun
persoalnnya tidak sesederhana itu, sebab ada sejumlah kasus di dalam studi
semantik yang menyangkut makna leksikal itu. Kasus-kasus itu adalah:
1. Kasus
kesinoniman
Sinonim adalah hubungan
semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan
satuan ujaran lainnya.[6][6]
Kasus
kesinoniman ini bisa menjadi masalah dalam meresepsi makna dalam suatu ujaran,
karena seperti kata Verhaar (1978;Chaer;1990) dua buah kata yang bersinonim
maknanya hanya kurang lebih sama, tetapi tidak persis sama.
Contoh : kata “bapak” dengan “ayah”.
- “Bapak” si Amin baru pulang dari Medan.
- “Selamat pagi Bapak Lurah !” seru anak itu.
Pada kalimat (a) kata
“Bapak” dapat di pertukarkan dengan “Ayah”, sedangkan pada kalimat (b) kata
“Bapak” tidak dapat di pertukarkan dengan “Ayah”. Hal ini membuktikan bahwa
kata bapak dan ayah yang disebut bersinonim atau mempunyai kesamaan makna
ternyata tidak selalu dapat di pertukarkan.
Dua buah ujaran yang
bersinonim maknanya tidak akan persis sama, walaupun perbedaannya hanya
sedikit. Itu terjadi karena beberapa faktor, antara lain:
a. Faktor
waktu (temporal), misal hulubalang dengan komandan adalah dua buah kata yang
bersinonim. Namun keduanya tidak bisa di pertukarkan begitu saja, sebab kata
hulubalang hanya cocok untuk konteks arkais atau klasik sedang kata komandan
untuk masa sekarang.
b. Faktor
tempat, misal saya dengan beta adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun
kalau kata saya bisa digunakan di daerah mana saja di seluruh Indonesia, tetapi
kata beta hanya cocok digunakan di wilayah atau dalam konteks Indonesia bagian
timur.
c. Faktor
sosial, misal saya dengan aku adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun kalau
kata saya bisa digunakan oleh siapa saja terhadap siapa saja, sedangkan kata
aku hanya dapat digunakan terhadap lawan bicara yang lebih muda atau kedudukan
sosialnya lebih rendah.
d. Faktor
bidang kegiatan, misal matahari dengan surya adalah sinonim. Namun matahari
dapat di gunakan dalam apa saja sedangkan kata surya hanya biasa di gunakan
dalam bidang sastra.
e. Faktor
nuansa makna (fitur semantik), misal melihat, melirik, menonton, meninjau, dan
mengintip adalah lima buah kata yang bersinonim. Kalau kata melihat bisa di
gunakan untuk menggantikan ke empat kata lainnya sedangkan ke empat kata
tersebut tidak bisa menggantikan kata melihat.[7][7]
2. Kasus
keantoniman
Antonim adalah hubungan
semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan,
atau kontras antara yang satu dengan yang lain. Dilihat dari sifat hubungannya,
maka antonimi itu dapat dibedakan beberapa jenis, antara lain:
a. Antonimi
yang bersifat mutlak, yaitu keantoniman antara dua buah kata atau leksem yang
maknanya saling meniadakan. Misalnya hidup dengan mati, sesuatu yang masih
hidup tentu “belum mati” dan sesuatu yang sudah mati tentu sudah “tidak hidup”
lagi.
b. Antonimi
yang bersifat relatif atau bergradasi, yaitu keantoniman antara dua buah kata
atau leksem yang pertentangan maknanya bersifat relatif, tidak mutlak. Misal
besar dengan kecil. Umumnya kata yang berantonim relatif ini adalah dua buah
kata dari kategori ajektifa. Oleh karena itu, dalam suatu ujaran sesuatu yang
murah bagi penutur bisa di tafsirkan tidak murah bagi pendengar, begitu juga
sesuatu yang besar bagi penutur bisa di tafsirkan kecil bagi pendengar.
c. Antonimi
yang bersifat relasional. Yaitu keantoniman antara dua buah kata atau leksem
yang maknanya saling melengkapi Misal, suami dengan istri.
d. Antonimi
yang bersifat hierarkial. Yaitu keantoniman antara dua buah kata atau leksem
yang maknanya menyatakan jenjang, urutan dari ukuran, nilai, timbangan atau
kepangkatan Misal, gram dengan kilogram.
e. Antonim
ganda. Yaitu kentoniman antara dua buah kata atau leksem yang dengan pasangan
yang lebih dari satu. Misalnya kata diam bisa berantonim dengan kata bergerak,
bicara, bekerja.[8][8]
3. Kasus
kehomonimian
Homonimi adalah dua
buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya sama; maknanya tentu saja berbeda.
Misal, bisa “racun” dengan bisa “sanggup”
Pada homonimi adalah
adanya kesamaan bunyi (fon) antara dua satuan ujaran tanpa memperhatikan
ejaannya. Misal, bisa “racun” dengan bisa “sanggup”.
Dalam bahasa tulis, ada
istilah homograf yang di gunakan untuk menyebutkan kata yang tulisan sama,
lafal beda dan maknanya pun berbeda. Contoh : 1. Apel : buah
2. Apél : rapat, pertemuan, 1.tahu: makanan, 2. tahu :mengetahui (bacaannya tau)
2. Apél : rapat, pertemuan, 1.tahu: makanan, 2. tahu :mengetahui (bacaannya tau)
Istilah homografi
sering dikotomikan dengan istilah homofon, yakni . Adalah dua kata yang
mempunyai kesamaan bunyi tanpa memperhatikan ejaanya, dengan makna yang
berbeda. Contoh : 1. Bang :
sebutan saudara laki-laki, 2. Bank : tempat penyimpanan dan pengkreditan uang [9][9]
.kata-kata yang
berhomofon akan menimbulkan kesalahpahaman bagi pendengar kalau penutur kurang
hati-hati dalam mempresentasikan ejaannya secara lisan. Sedangkan kata-kata
yang berhomograf juga bisa menimbulkan kesalahpahaman bagi pendengar kalau
penutur kurang hati-hati dalam memprentasikan ujarannya dalam bentuk bahasa
tulis.[10][10]
4. Kasus
kehiponiman dan kehiperniman
Hiponim adalah sebuah
bentuk ujaran yang mencakup dalam makna bentuk ujaran lain. Hipernim adalah
bagian dari hiponim. Contoh : Hiponim : buah-buahan, sedangkan hipernim dari
buah-buahan misalnya anggur, apel, jeruk, dan lain-lain.. .
Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel
berikut!
Bentuk Pertalian
|
Penulisan
|
Pengucapan
|
Makna
|
Sinonim
|
Berbeda
|
berbeda
|
sama, hampir sama
|
Antonim
|
Berbeda
|
berbeda
|
berbeda, berlawanan
|
Homonim
|
Sama
|
sama
|
berbeda
|
Homograf
|
Sama
|
berbeda
|
berbeda
|
Homofon
|
Berbeda
|
sama
|
berbeda[11][11]
|
C. Makna Gramatikal
Makna gramatikal baru
ada kalau terjadi proses gramatikal seperti afikasi, reduplikasi, komposisi
atau kalimatisasi. Umpamanya dalam proses afikasi prefiks ber- dengan dasar
baju melahirkan makna gramatikal “memakai baju”. [12][12] Tampaknya makna-makna gramatikal yang
dihasilkan oleh proses gramatikal ini berkaitan erat dengan fitur makna yang
dimiliki setiap butir leksikal dasar.
a. Fitur
Makna
Makna setiap butir
leksikal dapat dianalisis atas fitur-fitur makna yang membentuk makna
keseluruhan butir leksikal itu seutuhnya. Misalnya
Fitur makna
|
Boy
|
Man
|
Girl
|
Woman
|
|
+
-
+
|
+
+
+
|
+
-
-
|
+
+
-
|
Jadi,
dari bagan diatas bisa diambil kesimpulan dari salah satu contoh kata Boy,
memiliki fitur makna (+ manusia), )- dewasa), (+ laki-laki)
Analisis
fitur semantik ini yang berasal dari kajian Roman Jackobson dan Morris Helle
(1953) mengenai bunyi bahasa Inggris, dimanfaatkan oleh Chomsky untuk
membedakan ciri-ciri lexical item dalam daftar leksikonny, seperti:
Fitur
|
Boy
|
Dog
|
Chair
|
Rice
|
|
+
+
+
+
+
|
+
-
+
+
+
|
+
-
-
+
-
|
+
-
-
-
-[13][13]
|
b. Makna
Gramatikal Afiksasi
Afiksasi adalah
pembubuhan afiks pada bentuk dasar. Dalam bahasa Indonesia afiksasi merupakan
salah satu proses penting dalam pembentukan kata dan penyampaian makna. Jenis
afiks dan makna gramatikal yang dihasilkan cukup banyak dan beragam. Satu hal
yang jelas makna afiks yang dihasilkan mempunyai kaitan dengan fitur semantik.
Misalnya pada bentuk kata dasar yang berfitur semantik (+kendaraan) akan
melahirkan makna gramatikal “mengendarai”, “naik”, “menumpang”.
c. Makna
Gramatikal Reduplikasi
Reduplikasi juga
merupakan satu proses gramatikal dalam pembentukan kata. Secara umum makna
gramatikal yang dimunculkannya adalah menyatakan “pluralis” atau “intensitas”.
Misalnya kata rumah direduplikasikan menjadi rumah-rumah bermakna gramatikal
banyak rumah, dan lain-lain. Namun, makna gramatikal reduplikasi ini tampaknya
tidak bisa ditafsirkan pada tingkat marfologi saja, melainkan baru bisa
ditafsirkan pada tingkat gramatikal yang lebih tinggi yaitu sintaksis. Misalnya
makna kata “lebar-lebar” pada kalimat-kalimat berikut:
- Bukalah
pintu itu lebar-lebar!
- Daunnya
sudah lebar-lebar, tetapi belum dipetik
- Kumpulkan
kertas yang lebar-lebar itu disini
Kata lebar-lebar
kalimat pertama bermakna “selebar mungkin”, pada kalimat kedua bermakna “banyak
yang lebar”, sedangkan kalimat yang ketiga bermakna “hanya yang lebar saja”.
d. Makna
Gramatikal Komposisi
Butir leksikal dalam
setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, adalah terbatas, padalah
konsep-konsep yang berkembang dalam kehidupan manusia akan selalu bertambah.
Oleh karena itu selain proses afiksasi dan proses reduplikasi, banyak juga
dilakukan proses komposisi untuk menampung konsep-konsep yang baru muncul itu,
atau yang belum ada kosakatanya. Contoh kata sate yang bermakna leksikal daging
yang dipanggang dan diberi bumbu, ada kita dapati gabungan kata sate kambing,
sate ayam, sate madurra dan sate padang.
Dari makna gramatikal
yang kita lihat dari contoh komposisi dengan kata sate itu, tampak bahwa makna
gramatikal yang muncul dari gabungan kata itu, sangat berkaitan dengan fitur
semantik yang dimiliki oleh butir leksikal yang digabungkan dengan kata sate
itu.Kata atau butir leksikal kambing dan ayam sama-sama memiliki fitur semantik
(+hewan),(+daging),(+bahan (makanan)), maka fitur (+bahan (makanan)) ini
melahirkan makna gramatikal sate kambing dan ayam “bahan”, dll.
Penutur (asli) suatu
bahasa tidak perlu secara khusus mempelajari dulu fitur-fitur semantik kosakata
yang ada di dalam bahasanya untuk dapat membuat gabungan kata, sebab
fitur-fitur semantik itu sudah turut ternuranikan sewaktu dia dalam proses
pememrolehan bahasanya.
e. Kasus
Kepolisemian
Sebuah kata atau ujaran
disebut polisemi kalau kata itu mempunyai makna lebih dari satu. Dalam kasus
polisemi, biasanya makna pertama adalah makna sebenarnya, yang lain adalah
makna yang dikembangkan.
Contoh:
a. Kepalanya
luka kena pecahan kaca.
b. Kepala
surat biasanya berisi nama dan alamat kantor.
c. Kepala
kantor itu paman saya.
d. Kepala
jarum itu terbuat dari plastic.
Makna pertama kata
kepala adalah makna denotatif, sedangkan makna-makna berikutnya tidak bisa
dipahami tanpa konteks sintaksisnya.
Dalam proses
pemerolehan semantik makna polisemi ini dikuasai setelah menguasai makna
leksikal. Suatu ujaran yang mengandung kata atau kata-kata yang bermakna
polisemi tentu akan dipahami secara salah oleh pendengar yang belum tahu akan
makna polisemi dari kata atau kata-kata itu. Misalnya: Dulu ketika di TK seorang
anak terheran-heran mendengar bait lagu “Naik Delman” yang berbunyi “Naik
delman istimewa ku duduk di muka” Di rumah sepulang sekolah dia bertanya pada
ibunya, “Ma kok muka diduduki sih?. Disisni tampak bahwa anak tersebut baru
menguasai makna leksikal kata muka. Yaitu bagian kepala sebelah depan tempat
adanya mulut, hidung dan mata. Dia belum mengerti makna polisemi bahwa muka
juga memilki makna “depan”[14][14]
D. Makna Kontekstual
Makna kontekstual
adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Contoh:
Rambut di kepala nenek belum ada yang putih
Sebagai kepala sekolah
dia sudah berwibawa
Memahami makna leksikal
dan gramatikal saja belum cukup untuk dapat memahami makna suatu ujaran, sebab
untuk memahami makna suatu ujaran harus pula diketahui konteks dan tempat dari
terjadinya ujaran itu. Konteks ujaran itu dapat berupa konteks intrakalimat,
antarkalimat, bidang ujaran atau situasi ujaran.
a. Konteks intrakalimat
Makna sebuah kata tergantung pada kedudukannya di dalam
kalimat, baik menurut letak posisinya di dalam kalimat maupun menurut kata-kata
lain yang berada di depan maupun di belakangnya. Contoh : makna kata jatuh
dalam kalimat sebagai berikut
Ø Kakak jatuh
cinta pada gadis itu
Ø Kakak jatuh dari pohon jambu
Makna kata jatuh di
atas berbeda. Makna jatuh pada contoh pertama “menjadi cinta”. Pada contoh
kedua bermakna “terlempar ke bawah”.
b. Konteks antarkalimat
Ujaran dalam bentuk
kalimat yang baru bisa di pahami maknanya berdasarkan hubungannya dengan makna
kalimat sebelum atau sesudahnya. Contoh :
1. Meskipun persiapan telah di lakukan dengan seksama,
tetapi operasi itu tidak jadi di lakukan. Menurut keterangan tim medis
hal itu karena tiba-tiba si pasien mengalami komplikasi.
2. Meskipun persiapan telah di lakukan dengan seksama,
tetapi operasi tidak jadi di lakukan. Hal ini karena rencana operasi itu
telah bocor, sehingga tak sebuah becak pun yang keluar.
Makna kata operasi yang
pertama “pembedahan”sedangkan yang kedua bermakna “penertiban”. Kedua makna
tersebut di pahami adalah karena kalimat yang mengikutinya.
c. Konteks situasi
Maksudnya adalah kapan, dimana, dan suasana apa ujaran
itu di ucapkan. Contoh : “sudah hampir pukul dua belas
Akan berbeda makna bila di ucapkan oleh ibu asrama putri pada
malam hari yang di tujukan pada seorang pemuda yang masih bertamu dengan yang
di ucapkan oleh seorang ustad pondok pesantren pada siang hari pada santrinya.[15][15]
E. Makna Kohesi dan Koherensi
Dalam istilah kohesi
tersirat pengertian kepaduan dan keutuhan. Adapun dalam koherensi tersirat
pengertian pertalian atau hubungan. Bila dikaitkan dengan aspek bentuk dan
aspek makna bahasa, maka kohesi merupakan aspek formal bahasa, sedangkan
koherensi merupakan aspek ujaran (speech) (Henry Guntur Tarigan, 1987: 96).
a. Kohesi
Menurut
Fatimah Djajasudarma (1994 : 456) kohesi merujuk pada perpautan bentuk,
sedangkan koherensi merujuk pada perpautan makna.[16][16] .
Kohesi atau kepaduan wacana banyak melibatkan
aspek gramatikal dan aspek leksikal. Sehingga penanda yang digunakan untuk
mencapai kepaduan sebuah wacana juga meliputi kedua aspek tersebut. Penanda
yang dipakai untuk menandai kohesif setidaknya suatu wacana, meliputi:
pronomina, substitusi, elipsis, konjugasi, dan leksikal (Halliday dan Hasan
dalam Tarigan, 1987: 97).
Penanda yang digunakan untuk mencapai kekohesifan wacana ialah sebagai
berikut :
(1) Pronomina, disebut juga kata ganti. Dalam
bahasa Indonesia kata ganti terdiri dari kata ganti diri, kata ganti petunjuk,
kata ganti empunya, kata ganti penanya, kata ganti penghubung, dan kata ganti
taktentu.
a. Kata ganti
diri, dalam bahasa Indonesia meliputi: saya, aku, kami, kita, engkau, kau,
kamu. Kalian, anda, dia, dan mereka.
b. Kata ganti
petunjuk, dalam bahasa Indonesia meliputi: ini, itu, sini, sana, di sini, di
sana, di situ, ke sini, dan ke sana.
c. Kata ganti penanya, dalam bahasa
Indonesia meliputi: apa, siapa, dan mana.
d. Kata ganti penghubung, dalam
bahasa Indonesia yaitu yang.
e. Kata ganti
taktentu, dalam bahasa Indonesia meliputi: siapa-siapa, masing-masing, sesuatu,
seseorang, para.
(2) Substitusi merupakan hubungan gramatikal,
lebih bersifat hubungan kata dan makna. Substitusi dalam bahasa Indonesia dapat
bersifat nominal, verbal, klausal, dan campuran. Misalnya: satu, sama, seperti
itu, sedemikian rupa, demikian pula, melakukan hal yang sama.
(3) Elipsis ialah peniadaan kata atau satuan
lain yang wujud asalnya dapat diramalkan dari konteks luar bahasa. Elipsis
dapat pula dikatakan penggantian nol (zero), sesuatu yang ada tetapi tidak
diucapkan atau tidak dituliskan.
(4) Konjungsi digunakan untuk menggunakan kata
dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, atau paragraf dengan
paragraf (Tarigan, 1987: 101). Konjungsi dalam bahasa Indonesia dikelompokkan
menjadi:
a.
konjungsi adversatif : tetapi, namun
b.
konjungsi kausal : sebab, karena
c.
konjungsi koordinatif : dan, atau
d.
konjungsi korelatif : entah, baik, maupun
e.
konjungsi subordinatif : meskipun, kalau, bahwa
f.
konjungsi temporal : sebelum, sesudah
(5) Leksikal diperoleh dengan cara memilih
kosakata yang serasi, misalnya pengulangan kata yang sama, sinonim, antonim,
hiponim. Ada beberapa cara untuk mencapai aspek leksikal kohesi, antara lain:
a.
pengulangan kata yang sama : pemuda – pemuda
b. sinonim
: pahlawan – pejuang
c. antonim
: putra – putri
d. hiponim
: angkutan darat – kereta api, bis, mobil
b. Koherensi
Koherensi merupakan
pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan ide menjadi suatu
untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang dihubungkannya. Ada beberapa penanda koherensi yang
digunakan dalam penelitian ini, diantaranya penambahan (aditif), rentetan
(seri), keseluruhan ke sebagian, kelas ke anggota, penekanan, perbandingan
(komparasi), pertentangan (kontras), hasil (simpulan), contoh (misal),
kesejajaran (paralel), tempat (lokasi), dan waktu (kala).
a.
Penambahan (aditif),
penanda koherensi yang bersifat aditif atau berupa penambahan antara lain: dan,
juga, selanjutnya, lagi pula, serta.
b.
Rentetan (seri),
penanda koherensi yang berupa rentetan atau seria ialah pertama, kedua, …,
berikut, kemudian, selanjutnya, akhirnya.
c.
Keseluruhan ke
sebagian, yaitu pembicaraan atau tulisan yang dimulai dari keseluruhan, baru
kemudian beralih atau memperkenalkan bagian-bagiannya.
d.
Hasil (simpulan), yag
dimaksud penanda koherensi ini ialah kata atau frasa yang mengacu pada
simpulan.
e.
Contoh (misal), penanda
koherensi ini dapat berupa antara lain: umpamanya, misalnya, contohnya.[17][17]
Perbedaan antara kohesi dan koherensi pada sesuatu
yang terpadu atau yang berpadu. Dalam kohesi, yang terpadu adalah
unsur-unsur lahiriah teks, termasuk struktur lahir (tata bahasa). Penggalan
teks percakapan dua orang berikut dapat dijadikan contoh. “Hei, apa kabar?”
“Oh, kamu. Kabar baik. Tinggal di mana? Masih di tempat yang dulu?” “Iya, di
situlah saya tinggal sampai sekarang.” Semua unsur lahir dalam penggalan teks tersebut terpadu, baik secara
leksikal maupun gramatikal. Sementara itu, keberpaduan atau koherensi
mengharuskan unsur-unsur batinnya (makna, konsep, dan pengetahuan) saling
berpadu. Misalnya, ujar “apa kabar” biasanya digunakan oleh orang yang
sudah saling kenal dan relative sudah agak lama tidak saling jumpa. Pembicara
pertama mengujarkannya kepada yang kedua dan yang kedua menyambut dengan akrab
dan mengisyaratkan pemahaman bahwa mereka sudah lama tidak saling jumpa. Apa
lagi, pengujar tersebut melanjutkan dengan ujaran berikutnya, yang memperkuat
tafsiran bahwa dia merasa sudah lama tidak jumpa dengan pengujar pertama.[18][18]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Makna adalah gejala
internal bahasa, tapi makna itu juga terkait dengan gejala eksternal bahasa.
Makna ujaran itu terbagi pula dalam memahaminya, yaitu:
a. Makna
Leksikal, dalam makna leksikal ini diujarkan terdapat kasus yang harus
dipahami, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antara penutur dengan
pendengar, kasus-kasus tersebut adalah: kasus kesinoniman, kasus keantoniman,
kasus kehomoniman, kasus kehiponiman dan kehiperniman
b. Makna
Gramatikal, baru ada kalau terjadi proses gramatikal seperti afikasi,
reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi. Umpamanya dalam proses gramatikal
seperti afikasi, reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi. Umpamanya dalam
proses afikasi prefiks ber- dengan dasar baju melahirkan makna gramatikal
“memakai baju”. .
c. Makna
Kontekstual, Memahami makna leksikal dan gramatikal saja belum cukup untuk
dapat memahami makna suatu ujaran, sebab untuk memahami makna suatu ujaran
harus pula diketahui konteks dan tempat dari terjadinya ujaran itu. Konteks
ujaran itu dapat berupa konteks intrakalimat, antarkalimat, bidang ujaran atau
situasi ujaran.
d. Makna
Kohesi dan Koherensi, istilah kohesi tersirat pengertian kepaduan dan keutuhan.
Adapun dalam koherensi tersirat pengertian pertalian atau hubungan. Bila
dikaitkan dengan aspek bentuk dan aspek makna bahasa, maka kohesi merupakan
aspek formal bahasa, sedangkan koherensi merupakan aspek ujaran
B. Saran
a. Diharapkan kepada pembaca, agar makalah ini bisa dijadikan
sebagai pedoman dalam mata kuliah Psikolinguistik.
b. Dengan adanya makalah ini, agar para pembaca dapat
mempraktikkan makna ini dalam kehidupan sehari-hari, agar tidak terjadi
kesalahpahaman dalam berkomunikasi baik dari pihak penutur maupun pendengar.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik
Kajian Teoritik. Jakarta: PT. Rineka Cipta
http://susilo.adi.setyawan.student.fkip.uns.ac.id//aspek-makna-dalam-semantik-danketerkaitannya
– dengan – jenis -jenis - makna/, diakses tanggal 6 Mei 2010
http://tata-bahasa.110mb.com/Semantik.html,
diakses tanggal 6 Mei 2010
http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&ct=res&cd=4&ved=&url=http%3A%2F%2Fcakrabuwana.files.wordpress.comwindakurniasari.doc&rct=j&q=pengertian+makna+ujaran+gramatikal,
diakses tanggal 6 Mei 2010
http://blogshinyocom.blogspot.com/2009/06/makalah-semantik-2-makna.html,
diakses tanggal 6 Mei 2010
http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&ct=res&cd=9&ved=0CCAQFjAI&url=http%3A%2F%2Fwww.snapdrive.net%2Ffiles%2F606250%2FPerubahan%2520makna.doc&rct=j&q=pengertian+makna+kontekstual,
diakses tanggal 6 Mei 2010
http://ardiyant.blogspot.com/2010/03/kohesi-dan-koherensi.html,
diakses tanggal 6 Mei 2010
http://karangan-dhesy.blogspot.com/2008/04/kohesi-dan-koherensi-pada-iklan-layanan.html,
diakses tanggal 6 Mei 2010
http://semriwing.wordpress.com/wacana/,
diakses tanggal 6 Mei 2010
[3][3]http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&ct=res&cd=4&ved=&url=http%3A%2F%2Fcakrabuwana.files.wordpress.comwindakurniasari.doc&rct=j&q=pengertian+makna+ujaran+gramatikal,
diakses tanggal 6 Mei 2010
[4][4]
Abdul Chaer, , Psikolinguistik Kajian Teoritik, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2003), h 268-269
[5][5] Ibid
[6][6]Op. Cit, http://susilo.adi.setyawan.student.fkip .uns.ac.id//aspek –
makna – dalam – semantik – dan - keterkaitannya-dengan-jenis-jenis-makna/,
diakses tanggal 6 Mei 2010
[7][7]
Abdul Chaer, Op. Cit, h 271-272
[8][8] Ibid,
h 273-274
[9][9]
http://blogshinyocom.blogspot.com/2009/06/makalah-semantik-2-makna.html,
diakses tanggal 6 Mei 2010
[10][10]
Abdul Chaer, Op. Cit, h 276
[12][12] Op. Cit,
http://susilo.adi.setyawan.student.fkip .uns.ac.id/2009/04/12/aspek – makna –
dalam – semantik – dan - keterkaitannya-dengan-jenis-jenis-makna/, diakses
tanggal 6 Mei 2010
[13][13]Abdul
Chaer, Op. Cit, h 277-278
[14][14] Ibid,
h 279-285
[15][15]Ibid,
h 285 287
[17][17]http://karangan-dhesy.blogspot.com/2008/04/kohesi-dan-koherensi-pada-iklan-layanan.html,
diakses tanggal 6 Mei 2010
RUBYQQ, Agen poker judi online terbesar dan terpercaya.
BalasHapusKini hadir dengan 7 Games Terpopuler
Murni player vs player 100%
Bonus Turnover 0.5% *dibagikan setiap hari pada jam 12 siang
Bonus referral 20% *berlaku seumur hidup
Bonus jackpot jutaan rupiah setiap hari nya
UNTUK MENDAFTAR SILAHKAN KLIK LINK BERIKUT : https://goo.gl/71WTFu
Hubungi kami di layanan servis 24jam nonstop,
- Livechat 24 jam : Official site rubyqq
- Pin BBM : 2B8938F7
BURUAN JOIN ; )
The Closest Hotels to The Wynn Casino - Mapyro
BalasHapusLooking 울산광역 출장샵 for hotels near 계룡 출장샵 The Wynn Hotel and Casino? · Wynn Tower Suite Parlor · Wynn Tower Suite Salon · Wynn Panoramic 강릉 출장안마 View 대구광역 출장마사지 King · Wynn Resort King · 구미 출장안마 Wynn Panoramic View Two Doubles